Menilik dari sejarahnya, sebenarnya industri
farmasi kita berasal dari berkembangnya Pedagang Besar Farmasi ( PBF )
dan Importir di masa lalu. Jadi, kalau kita menyaksikan industri farmasi
yang memiliki fasilitas manufaktur seperti sekarang ini, sebenarnya hal
itu baru berkembang sekitar tahun 1970-an.
Sekarang
tantangan berat yang dialami industri pada saat yang bersamaan juga
mengimbas ke perusahaan-perusahaan distributor farmasi atau distributor
obat, terutama dihadapi oleh kalangan distributor lokal yang memiliki
daya saing rendah. Pasalnya, ketimpangan yang tajam antara jumlah
perusahaan farmasi dengan jumlah distributor obat, apotek dan toko obat,
semakin kurang kondusif bagi perkembangan usaha jika dilihat dari sisi skala ekonominya.
Kondisi
industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang. Betapa
tidak, dengan hanya 196 pabrik obat, jumlah distributornya (PBF-Pedagang
Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250, yang berarti 1 pabrik obat rata-rata
berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF)
berhadapan dengan 2,3 apotek. Ketimpangan tersebut bagaikan sebuah
piramid terbalik, dimana untuk mencapai skala ekonomi atau efisiensi,
seharusnya jumlah distributor nasional jauh lebih sedikit dibandingkan
jumlah pabriknya. Dengan begitu, akan diperoleh rasio dimana 1
distributor obat dapat melayani puluhan pabrik, tidak seperti sekarang
ini dimana 1 pabrik obat dilayani oleh beberapa puluh distributor.
Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak
memiliki bentuk kerjasama, misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau
‘sub distributor’, tidak lagi mampu bersaing.
Ketidakseimbangan
ini semakin mendorong tidak efisiennya biaya operasional
pendistribusian obat. Kecilnya volume yang didistribusikan oleh satu
PBF, bukan saja tidak efisien, juga tidak ekonomis, sehingga tidak dapat
bersaing secara baik. Dampaknya, obat-obat yang telah diproduksi
mengikuti CPOB (cara pembuatan obat yang baik) tidak dapat disimpan dan
didistribusikan dengan baik. Begitu juga kualitas obatnya pun tidak lagi
terjamin oleh distributor, karena PBF tersebut tidak sanggup
melaksanakan GDP (good distribution practice).
Berdasarkan
regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk
obatnya harus menggunakan jalur PBF. Saat ini jumlahnya sudah mencapai
2.250 distributor. Sedang jumlah retailer-nya: sekitar 5.695 apotek dan
5.513 toko obat – besar dan kecil.
Selain
itu, dari 196 perusahaan farmasi, sekitar 60 pabrik obat menguasai
lebih dari 80% total pasar, sedangkan 20% sisanya diperebutkan oleh 140
parik obat lainnya. Dari jumlah itu perbandingan antara perusahaan lokal
dan multinasional masih 60 berbanding 40. Gambaran ini menunjukkan
betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia, termasuk lemahnya skala ekonomi distributornya, sehingga tak heran bila harga obat di Indonesia bisa begitu melangit.
Peningkatan
jumlah PBF yang sangat dramatis, selain karena rata-rata pabrik obat
mendirikan PBF sendiri, juga lebih dikarenakan regulasi pemerintah yang
memungkinkan perusahaan-perusahaan yang tidak berbasis industri farmasi
untuk mendirikan PBF. Jadi, meski jumlah pabrik obat tidak bertambah,
sebaliknya malah berkurang, namun jumlah PBF terus meningkat.
Perusahaan-perusahaan
distributor dari negara- negara maju, yang memang telah terdukung oleh
aplikasi TI, mereka dapat lebih efisien. Selain itu, skala ekonomisnya
sangat baik terpenuhi, karena volumenya sangat besar, sehingga meski
mendapatkan margin penjualan yang tipis, yakni antara 3-4% dari
penjualan, hal itu masih sangat menguntungkan.Di Indonesia rata-rata
besar marginnya masih antara 11-12% dan tergantung pada beberapa faktor
lainnya, sehingga dalam konteks ini kemampuan distributor nasional untuk
bersaing semakin kecil alias tak mampu bersaing dengan baik.Pada tahun
2003, pasar produk-produk farmasi diperkirakan tumbuh sekitar 20%, namun
daya beli masyarakat sudah sangat menurun. Produk obat-obatan yang
selama ini diproduksi oleh 196 pabrik obat, 4 di antaranya merupakan 4
BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN.
Hanya
saja, 31 pabrik obat yang berstatus PMA ini tak kurang menguasai
sekitar 50% pangsa pasar farmasi nasional. Hal ini masih ditambah lagi
dengan terjadinya merjer dan akuisisi sejumlah pemain regional dan
global, sehingga semakin menyulitkan perusahaan-perusahaan lokal untuk
bersaing di pasar yang diperkirakan sebesar 17 triliun rupiah itu. Belum
lagi, kalangan pabrik obat nasional pun masih besar ketergantungannya
terhadap impor bahan baku obat mancanegara, yang berarti semakin
meningkatkan tekanan terhadap pabrik obat dalam upaya menyediakan
obat-obatan yang terjangkau.
Dibukanya
pasar AFTA (ASEAN Free Trade Area), yang merupakan harmonisasi
perdagangan di kawasan ASEAN, ternyata masih menyisakan persyaratan,
seperti pelaksanaan current GMP (c-GMP), diharuskan adanya
penelitian terhadap BA-BE Studies (Bio-Availability_Bio-Equivalent)
untuk obat-obat tertentu yang akan dipasarkan di negara-negara ASEAN.
Hal itu boleh jadi akan memberikan, baik peluang maupun ancaman, bagi
industri farmasi di Indonesia.
Pada
sisi pandang masyarakat luas ( konsumen), Konsumen obat di Indonesia
selama ini tidak pernah mendapat informasi jelas mengenai harga obat.
Pasien selalu hanya menerima secarik kertas resep dari dokter —yang
tulisannya tak terbaca— kemudian harus menukarkannya dengan obat di
apotek dan diharuskan membayar sejumlah uang. Tidak pernah ada perincian
harga obat dengan jelas. Dari satu apotik ke apotik lain, harga obat
bisa berubah-ubah. Maka tak heran kalau banyak yang lari ke pasar obat
bebas alasannya, di sana lebih murah.
Obat
dalam pandangan masyarakat merupakan suatu produk sosial yang harus
berharga murah dan pihak industri tidak boleh mengambil untung terlalu
banyak. Namun apa mau dikata, pada kenyataannya di Indonesia, obat
justru suatu produk yang kadang hanya bisa dijangkau oleh lapisan
tertentu. Kalaupun ada obat yang ”murah meriah” terbukti tidak semujarab
obat yang berharga mahal. Penyakit-penyakit berbahaya yang butuh
penanganan khusus seperti kanker justru memerlukan obat impor yang
harganya mahal.
India,
kendati tergolong negara berkembang sama seperti Indonesia, terdapat
sekira 13.000 pabrik farmasi yang mendapat subsidi pemerintah sebanyak
30-40 persen. Jumlah pabrik obat di Indonesia hanya sekira 196 buah,
termasuk empat perusahaan milik negara dan 34 perusahaan asing (PMA),
sedangkan sisanya merupakan perusahaan swasta lokal.
Dari
jumlah ini, 60 perusahaan di antaranya menguasai kurang lebih 84 persen
pangsa pasar. Sedangkan perbandingan antara perusahaan obat lokal dan
multinasional masih 60 banding 40. Dan total keseluruhan perusahaan
farmasi Indonesia tergolong kecil, hanya tiga persen saja dari total
jumlah pabrik obat di seluruh dunia. Gambaran tersebut bisa menunjukkan
betapa lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia. Namun, bukan
berarti bahwa industri farmasi established cukup mempertahankan
pasar, ingat bahwa persaingan perdagangan bebas tingkat ASEAN atau
ASEAN Free Trade Area (AFTA) bagi industri farmasi sudah dimulai pada
bulan Juni tahun ini. Otomatis perusahaan farmasi lokal harus berani
bersaing dengan perusahaan asing yang juga akan mengedarkan produk
obatnya di Indonesia. Namun ada kunci- kunci yang harus dipegang oleh
perusahaan farmasi agar mampu tetap mampu berkompetisi dan memenangkan
persaingan dalam skala nasional maupun internasional, yaitu :
· Buat sistem yang kuat.
Dengan langkah identifikasi bagian vital dari informasi kompetitif,
identifikasi sumber terbaik dari informasi kompetitor, dan pemilihan SDM
yang akan mengatur sistem dan pelayanan.
· Pengumpulan data.
Data diambil dari basis lapangan ( sales, saluran pemasaran, pemasok,
riset pemasaran perusahaan, asosiasi perdagangan), dari orang yang
melakukan bisnis dengan kompetitor, dan dari data yang dipublikasikan.
Internet adalah senjata baru yang sangat ampuh dalam pengumpulan data
intelijen perusahaan.
· Evaluasi dan analisa data. Pengukuran untuk validitas, tingkat kepercayaan. Interpretasi, dan organisasi
· Pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan.
Dengan sistem yang baik, manajer perusahaan akan menerima informasi
tentang kompetitor via email, telephone, buletin, koran, dan laporan.
Manajer dapat menghubungi intelijen perusahaan jika mereka ingin tahu
kekuatan dan kelemahan kompetitor serta berdiskusi untuk menentukan arah
perusahaan
Mendesain strategi kompetisi adalah cara terbaik untuk mengetahui dan menempatkan level perusahaan, apakah : pemimpin pasar ( market leader), penantang ( challenger ), pengikut ( follower), atau sisa ( niche ).
· Strategi Pemimpin Pasar ( market leader).
Untuk produk farmasi yang telah menjadi pemimpin pasar, maka perusahan
akan menghadapi tiga hal secara bersamaan yaitu : Mencari cara untuk
terus meningkatkan permintaan market, kedua, perusahaan harus mampu
mempertahankan bagian pasar ( market share) dan ekspansi ke market lain, dan ketiga, perusahan harus mampu meningkatkan pembagian pasar walaupun pangsa pasar tetap.
· Strategi Penantang ( challenger).
Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh penantang, yaitu pertama,
mendefinisikan strategi pemasaran dan sasaran lawan, bisa dengan
menyerang market leader, menyerang perusahaan selevel yang
memiliki kesulitan keuangan, atau menyerang perusahaan lokal- regional
yang kecil. Kedua, pilih pola penyerangan apakah frontal, pengepungan,
potong jalur, atau sporadis.
· Strategi Pengikut ( follower). Kebanyakan produk farmasi adalah hasil copy. Namun bukan berarti tanpa inovasi, follower harus mengetahui cara mempertahankan konsumen lama dan memenangkan pembagian pasar (market sharei) yang adil. Follower harus mampu menurunkan biaya manufaktur dengan tetap mempertahan kualitas terbaik dari produk.
· Strategi Sisa ( niche). Strateginya adalah dengan menjadi pemimpin di pasar yang lebih kecil (small market leader). Kunci penting dari strategi ini adalah menjadi produk spesifik dan spesialis.
Khusus untuk pengaturan rantai pasok ( Supply Chain Management), teknologi informasi (TI ) sangat direkomendasikan. Persoalannya tak hanya menyangkut daya saing, melainkan bagaimana perusahaan dapat mengelola sistem pendistribusiannya
dengan efisien dan efektif. Selain itu, penerapan TI akan berdampak
pada meningkatnya kemampuan manajemen dalam mengambil berbagai keputusan
strategis karena berdasarkan data dan informasi yang akurat dan riil,
yang dapat tersaji secara lebih lengkap, bervariasi dan lebih cepat.
Penerapan
TI di suatu perusahaan distributor obat, juga dapat sekaligus memantau
peredaran dan kemungkinan mengurangi beredarnya obat-obat palsu, karena
setiap migrasi obat akan terpantau dengan baik dan, bahkan, dalam
hal-hal tertentu, secara real-time. Kemampuan bersaing juga ditentukan
oleh dimilikinya struktur SDM yang handal, dan mampu mengoptimalkan
pemanfaatan TI yang sudah dimiliki. Karena pada dasarnya, para
distributor asing yang memasuki pasar Indonesia setidaknya membawa tiga
faktor penting, yakni teknologi informasi yang canggih, dukungan keuangan yang kuat, dan penawaran margin yang rendah.
0 komentar:
Posting Komentar